Tafsir bil Ma'tsur

Tafsir Bil Ma’tsur dan Keandalannya

Lebih jauh Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa maksud utama Alquran sebagai pembangkit kesadaran tertinggi manusia ada hubungan gandanya dengan Allah dan alam semesta ini.[4]Lahirnya ilmu-ilmu Alquran merupakan bagian usaha dari pengkaji muslim terhadap Alquran. Ulum Alquran dikonotasikan sebagai pokok bahasan yang berkaitan dengan Alquran dari aspek-aspek asbab al nuzul, tertib surat dan ayat, pentadwinan dan penulisannya, cara membaca dan menafsirkannya, daya kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, bantahan terhadap berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya, dan hal-hal lain, yang sebenamya telah ada semenjak masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Oleh karena kebutuhan yang belum mendesak, aspek-aspek bahasan tersebut belum disusun secara sistimatis dalam karya tulis, melainkan baru dalam bentuk periwayatan. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah berbagai aspek pembahasan ulum Alquran dalam bentuk karya tulis yang sistimatis. Seperti asbab al nuzul, Makkiy dan Madaniy, Metode-metode Tafsir. Salah satu di antara metode tafsir ialah tafsir bil ma’tsur atau tafsir bi al-riwayat. Metode tafsir ini penting artinya karena berkaitan dengan penjelasan Allah terhadap kitabnya, posisi dan kedudukan Rasulullah sebagai penafsir Alquran, dan kedudukan para sahabat dan tabi’in berkaitan dengan penjelasan mereka terhadap Alquran. Cara kerja tafsir bil ma’tsur, apa yang dikemukakan oleh Nabi saw, sahabat atau tabi’in dijadikan dasar oleh si mufassir dalam mengungkap maksud dan peran Alquran. Konsekwensinya penjelajahan nalar mufassir untuk mencari makna atau pesan lain yang berbeda dengan penjelasan terutama penjelasan sahabat dan tabi’in kurang leluasa, karena si mufassir sangat tergantung kepada riwayat, bahkan selama ada riwayat, si mufassir cenderung tidak mencari penjelasan lain. Sementara itu tidak sedikit riwayat-riwayat tersebut lemah, bahkan diselipi dengan kisah-kisah israiliyat. Maka tulisan ini berusaha menjawab hakekat tafsir bil ma’tsur, muatan dan kedudukan nalar mencari tafsir dalam tafsir bil ma’tsur dan hal-hal lain yang dianggap memperjelas. Dan jawaban akan tersebut diperoleh gambaran bahwa suatu hasil penafsiran bukanlah semuanya merupakan “kata putus” yang harus diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu seseorang dalam memahami pesan-pesan Alquran. Yang jelas kuranglah bijaksana kalau seseorang menerima begitu saja atau mengkritik begitu saja tanpa menelusuri metode tafsir apa yang digunakan oleh si mufassir dalam tafsirnya.

B. HAKEKAT TAFSIR BIL MA’TSUR
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti penjelasan atau keterangan.[5] Sedang al-ma’tsur berasal dari akar kata atsara yang berarti mengutip.[6] Sedangkan menurut pengertian terminologi tafsir bil ma’tsur ialah sebagai rangkaian keterangan yang terdapat dalam Alquran, sunah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan terhadap firmanAllah.[7]
Faudah menjelaskan bahwa tafsir bil ma’tsur meliputi tafsir Alquran dengan Alquran, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dengan nukilan dari para sahabat dan tafsir dengan nukilan para tabi’in.[8] Sementara al-Zahabi dan as­-Sayuti mengatakan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penjelasan dan perincian Alquran sendiri terhadap sebagian ayat-ayatNya, penafsiran yang dilakukan Rasulullah saw, para sahabat dan tabi’in yang berupa penjelasan terhadap firman Allah swt dalam Alquran.[9]
Dari gambaran di atas memberi kesan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai, apakah tafsir tabi’in terhadap Alquran termasuk dari tafsir bil ma’tsur. Pertama bahwa hal itu termasuk tafsir bil ma’tsur. Kedua, mengatakan bahwa komentar tabi’in tersebut merupakan ta’wil dan ijtihad. Bagi pendapat pertama, memberi alasan bahwa para tabi’in pernah bertemu dengan sahabat dan dalam kitab-kitab tafsir tabi’in yang awal ternyata pada umumnya para tabi’in juga hanya mengutip ucapan sahabat saja. Dalam hal ini Muhammad Abu Syuhbah mengatakan, jika para tabi’in itu bermufakat mengenai suatu masalah, maka pendapat mereka itu bisa dijadikan hujjah, sekalipun pendapat mereka itu hanya bersumber dari pendapat para sahabat saja. Adapun jika mereka berselisih pendapat, maka pendapat sebagian dari mereka tidak dapat diterima sebagai hujjah, baik terhadap kalangan mereka sendiri (tabi’in) maupun terhadap generasi sesudahnya.[10]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir bil ma’tsur dapat dilelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) tafsir Alquran dengan Alquran (2) tafsir Alquran dengan as-Sunah (3) tafsir Alquran dengan riwayat sahabat (4) tafsir Alquran dengan riwayat tabi’in.
Pertama: Tafsir Alquran dengan Alquran.
Sebagaimana diketahui bahwa Alquran itu, sebagian ayatnya merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya Allah saja yang Maha Mengetahui apa yang dikehendaki dengan firmanNya.[11] Di antara contoh­-contohnya sebagai berikut:
ا. فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Kata “‘Kalimaatun” (beberapa kalimat) tersebut dijelaskan oleh ayat yang lain di surat yang lain, yaitu:
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
“Adam dan Hawa berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami. Dan kalau Engaku tidak mengampuni kami dan tidak memberikan kasih sayang kepada kami, pasti kami akan menjadi orang­orang merugi”. (Al-A’raf [7]:23)
Demikian juga QS Al-Maidah  (5): 1:
ب. يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلي الصيد وأنتم حرم إن الله يحكم ما يريد
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan oleh Allah dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به…..
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang disembelih atas nama selain Allah… Demkian juga FirmanNya:

اهدنا الصراط المستقيم  صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat” (QS Al-Fatihah [1]: 6-7).
Kalimat “orang-orang yang Engkau karuniai nikmat” pada ayat di atas, dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسُن أولئك رفيقا
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmt dart Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman/sahabat” (QS An-Nisa: 69).
Demikian juga FirmanNya:
إنا أنزلناه في ليلة مباركة إنا كنا منذرين
“sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS Ad-Dukhan [44]: 3).
Kata “malam yang diberkahi” dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada kemuliaan (Qadar)” (QS Al-Qadr [97]: 1)
Kedua: tafsir ayat Alquran dengan as-Sunah.
Dalam hal ini as-Sunah menjelaskan Alquran jika dalam Alquran itu sendiri tidak terdapat penjelasan karena kedudukan/fungsi as-Sunah sebagai penjelas terhadap Alquran.[12] Hal tersebut sesuai dengan firmanNya:
…. وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl (16): 44).
Di antara contoh as-Sunah menjelaskan Alquran adalah:
(a)    Firman Allah dalam QS. Al-An’am (6): 82:
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
(b)   Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 238:
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين
Peliharalah segala shalat dan shalat wustha” (QS Al-Baqarah [2]:238). ”Shalat wustha” dijelaskan oleh Nabi dengan ”shalat Asar”.
(c) Firman Allah:
صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al-Fatihah:7). Kata “al-Magdlubi `alaihim dan al-Dhaalliin”ditafsirkan oleh Nabi dengan orang-orangYahudi dan Nasrani.
(d) Firman Allah QS. Al-Anfaal [8]:60:
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ……
”dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Kata ”Maastatha’tum” ditafsirkan oleh Nabi SAW dengan ”alramyu yaitu anak panah.
e). Firman Allah dalam QS. Ghafir (40): 60:
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.
Rasulullah menafsirkan kata ”ibadah” dalam ayat tersebut dengan ”al-du’aa”.
Ketiga: Tafsir Alquran dengan riwayat sahabat.
Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Alquran maupun as-Sunnah, maka hendaklak kita kembali kepada keterangan sahabat terkemuka yang saheh, karena merekalah yang pernah bersama Nabi, bergaul dengan beliau dan menghayati petunjuk-petunjuknya.[13]
Para sahabat yang terkenal sebagai mufassir ada 10 orang, yaitu empat Khulafa al-Rasyidin ditambah dengan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-`Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Namun demikian Khulafa al-Rasyidin hanya sedikit yang mewartakan asar (penjelasan sahabat) kecuali Ali bin Abu Thalib. Dan pada saat ketiga khalifah pertama masih hidup, ketika itu masih banyak sahabat yang ahli dalam kitabullah.[14]
Di antara contoh mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu AN Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan QS. Al-Nisaa’(4) : 2:
وآتوا اليتامى أموالهم ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata ” HUB ” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar.[15] Juga penjelasan Ibnu Abbas mengenai firman Allah QS. Al-Fatihah:7:
صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
yaitu ketaatanmu, ibadatmu di antara para malaikat, para Nabi, para siddiqiin, syuhada dan orang-orang saleh.[16]
Kempat: Tafsir Alquran dengan penjelasan tabi’in.
Sebagai bahan rujukan dalam dalam penulisan Alquran, penjelasan tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan Alquran. Sekalipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari Nabi, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat. Sebagai contoh penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran. Mujahid sering menemui Ibnu Abbas dalam memperoleh keterangan.[17]

C.  NILAI KEANDALAN TAFSIR BIL MA’TSUR
Dalam tafsir bil ma’tsur banyak menghadapi kritik keras karena banyak riwayat hadis saheh bercampur dengan riwayat-riwayat hadis yang tidak saheh. Selain itu, juga karena kegiatan yang tidak asing lagi dart orang-orang Zindiq dari kaum Yahudi dan Persia yang berusaha menghancurkan agama Islam dan mengacaukan ajaran-ajarannya. Lagi pula dengan pengaruh tokoh berbagai macam mazhab dan golongan yang mempunyai kegemaran aneh yaitu menafsirkan Alquran dan menceritakan asbab al-nuzul menurut sesuka halinya. Karena itu penafsiran berdasarkan riwayat hadis dituntut kecermatan dalam mengungkapkan sesuatu, keketatan dalam menyaring berbagai niwayat hadis dan kehali-halian serta ketelitian dalam mengetengahkan isnadnya.[18]
Penafsiran Alquran dengan Alquran merupakan cara yang terbaik.[19] Menurut as-Sabuni penafsiran Alquran dengan Alquran termasuk jenis tafsir yang paling luhur dan tidak ragu lagi untuk diterima. Karena Allah swt lebih mengetahui maksudnya dari pada yang lainnya. Kitab Allah adalah yang paling benar, tidak terdapat pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, dari awal sampai akhimya.[20] Dengan demikian nilai dan keandalan tafsir Alquran dengan Alquran adalah yang paling baik dan tinggi. Implikasinya, si mufassir semestinya dalam proses kerja menafsirkan memahami munasabah  satu ayat dengan ayat lainnya.
Penafsiran Alquran dengan as-Sunah menempati urutan kedua setelah penafsiran Alquran dengan Alquran. Karena itu harus kita terima, dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk yang dibawa oleh Rasululllah. Beliau tidak menafsirkan makna ayat-ayat Alquran mengikuti fikirannya sendiri, tetapi menurut wahyu Ilahi.[21] Penjelasan Nabi dengan sanad yang pasti, soheh, maka tidak ada keraguan padanya bahwa hal itu benar dan wajib berpegang padanya.[22] Di samping itu, Nabi saw adalah berfungsi menerangkan dan menjelaskan ayat-ayat Alquran kepada umat manusia. (QS An-Nahl:44).
Selama apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw tentang penjelasan al­Qur’an itu pasti sanad dan matannya soheh, maka hal itu harus menjadi pedoman dalam menafsirkan ayat, dan nilainya tinggi. Dalam hal ini si mufassir harus betul-betul bersikap hali-hali dan cermat menyaring riwayat-­riwayat yang dikatakan datangnya Nabi.
Mengenai penafsiran Alquran dengan riwayat sahabat adalah salah satu jalan untuk memahami makna ayat-ayat Alquran sebab mereka menyaksikan dan selalu bersama Nabi saw. Dalam hal ini al-Hakim mengatakan, jika saheh dinilai marfu’, karena mereka menyaksikan turunnya wahyu, memahami hal­-hal yang melatar belakangi wahyu, jiwa mereka bersih sehingga memungkinkan mereka memahami Alquran secara benar.[23] Di samping itu karena para sahabat itu pernah berkumpul dengan Nabi saw, mereka mengambil sumbernya yang asli, menyaksikan turunnya wahyu dan turunnya Alquran, mengetahui asbab al nuzul, watak mereka murni, fitrah yang lurus, berkedudukan tinggi dalam kefasihan dan kejelasan bicara. Mereka lebih memiliki kemampuan dalam memahami kalam Allah. Dan hal lain yang ada pada mereka tentang rahasia-rahasia Alquran sudah tentu akan melebihi orang lain yang manapun juga.[24]Ibnu Salah mengatakan bahwa apabila penafsiran sahabat itu mengenai asbab al nuzul dan menafsirkannya tidak memakai ra’yu (akal) maka dinilai marfu’[25], artinya bahwa tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadis Nabi yang silsilahnya sampai kepada Nabi saw. Selanjutnya Ibnu Salah melanjutkan bahwa apabila penafsiran itu tidak mengenai asbab al-nuzul dan memakai ra’yu, maka dinilai mauquf dan tidak wajib diambil karena para sahabat adalah mujtahid yang bisa benar dan mungkin salah.[26]
Dari berbagai pendapat tersebut dapat digambarkan bahwa penafsiran sahabat dapat dinilai benar dan dipegangi apabila hal itu betul-betul bersumber dari sahabat. Ibnu Taimiyah berkomentar hendaklah diketahui bahwa Nabi saw menerangkan kepada para sahabat tentang makna-makna Alquran sebagaimana dia menerangkan lafaz-lafaznya. Karenanya firman Allah: … Litubayyina Linnaasi Maa Nazala Ilaihim (QS.an-Nahal: 44) adalah mencakup dua hal ini.[27] Penjelasan sahabat terhadap ayat Alquran nilainya adalah tinggi dan dapat dijadikan pegangan dalam menafsirkan Alquran, apabila isnad soheh. Dan penjalasan sahabt tersebut tidak hanya terbatas pada masalah asbab al nuzul saja.
Mengenai tafsir Alquran dengan riwayat tabi’in, para ulama berbeda pendapat mengenai penilaian terhadap riwayat tabi’in dalam menafsirkan al­Qur’an. Namun sebagai bahan rujukan penafsiran mereka tetap diperhitungkan, terutama kalau tidak ditemukan tafsir suatu ayat dalam Alquran, tidak pula dalam sunah maupun riwayat sahabat. Sebagian ulama memandang bahwa ucapan tabi’in termasuk tafsir bit ma’tsur dan sebagian lagi memandangnya tafsir bir ra’yi dan ijtihad.[28] Dikatakan tafsir bit ma’tsur karena penafsiran tabi’in bersumber dari (1) ayat-ayat Alquran yang menjadi penafsir bagi ayat-ayat lain yang bersifat global, (2) apa yang didengar dan diriwayatkan oleh para tabi’in bersumber dari para sahabat, dan sahabat mengambilnya dari Nabi saw, (3) tafsir Alquran yang diriwayatkan oleh para tabi’in, adalah diambil dari para sahabat, (4) hasil-hasil perenungan dan pemikiran mereka atas Kitabullah sebagaimana yang telah diungkapkan Allah kepada mereka.[29] Mengenai tafsir tabi’in terhadap Alquran, Ibnu Taimiyah memberikan komentar setelah mengutip pendapat Syu’bah bin al-Hajjaj yaitu pendapat­-pendapat tabi’in yang berkaitan dengan masalah-masalah furu’ tidak dapat dijadikan Hujjah, karena hal itu merupakan buah pikiran mufassir mengenai masalah yang diperselisihkan. Kalau para tabi’in itu bermufakat tentang suatu masalah, maka pendapat mereka dapat dijadikan hujjah, sekalipun pendapat mereka hanya bersumber dari pendapat para sahabat saja. Namun jika mereka berselisih pendapat, maka pendapat sebagian mereka tidak dapat diterima sebagai hujjah, baik terhadap kalangan mereka sendiri maupun generasi selanjutnya.[30] Bagaimanapun juga kita harus mengakui bahwa dalam penafsiran Alquran dengan ma’tsur dari sahabat atau tabi’in mempunyai kelemahan-kelemahan. Dalam hal ini as-Sabuni menjelaskan setelah mengutip pendapat az-Zarqani bahwa kelemahan-kelemahan tafsir Alquran dengan ma’tsur dari sahabat dari tabi’in yaitu karena berbagai segi:
1.      Campur baur antara yang saheh dan tidak saheh, serta banyak mengutip kata-kata yang dinisbatkan kepada sahabt atau tabi’in dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampuran antara yang hak dan yang batil.
2.      Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyat dan khurafat yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah. Dan telah ada dalil yang menyatakan kesalahan cerita-cerita tersebut, hal ini dibawa ke dalam kalangan umat Islam dari kelompok Islam yang dahulunya ahli kitab.
1.      Di kalangan sahabat, ada golongan yang ekstrim. Mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan-kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Misalnya kelompok Syiah yaitu yang fanatik kepada Ali, mereka sering mengatakan Ali dan Ali sendiri tidak ada urusan apa-apa. Contoh lain, golongan pendukung Abbasiyah mereka mengemukakan kata Ibnu Abbas, padahal tidak benar Ibnu Abbas mengatakan demikian. Mereka berbuat itu karena untuk basa-basi dihadapan para penguasa.
2.      Musuh-musuh Islam dari orang-orang Zindiq ada yang menyisipkan sahabat dan tabi’in sebagaimana mereka menyisipkan atas Nabi saw perihal sabdanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama dengan jalan manghasut dan membuat-buat hadis. Dalam hal ini perlu kita waspadai.[31]
Menanggapi hal-hal di atas, oleh az-Zarqani mengatakan setelah mengutip dari Imam Ahmad r.a. dan lbnu Taimiyah yaitu bahwa pendapat yang paling adil dalam hal ini ialah bahwa tafsir bit ma’tsur itu ada dua macam; (1) tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan saheh dan diterima. Tafsir yang demikian tidak layak untuk ditolak oleh siapapun, tidaklah dibenarkan untuk mengabaikan dan melupakannya. Tidak benar kalau dikatakan bahwa tafsir yang demikian itu tidak bisa dipakai untuk memahami Alquran bahkan kebalikannya, bahwa tafsir tersebut adalah sarana yang kuat untuk mengambil petunjuk dari Alquran, (2) tafsir yang dalil atau sumbernya tidak saheh karena beberapa faktor di atas atau sebab lain. Tafsir yang demikian harus ditolak dan tidak boleh diterima serta tidak layak untuk dipelajari. Kebanyakan ahli tafsir yang waspada seperti Ibnu Kasir selalu meneliti sampai di mana kebenarannya yang mereka kutip dan kemudian membuangnya yang tidak benar atau dha’if.[32]
Dengan demikian tafsir ma’tsur dari sahabat atau tabi’in nilainya tinggi apabila sumbernya saheh dan tidak diperselisihkan atau tidak bertentangan satu pendapat dengan pendapat yang lainya. Implikasinya, tafsir ma’tsur yang memenuhi kriteria tersebut haruslah ditenma dan tidak perlu ditolak. Namun kalau tafsir ma’tsur dari sahabat atau terutama tabi’in itu kurang saheh maka nilainya rendah dan sebagai konsekwensinya tidak bisa dipakai atau minimal sebagai pembantu dalam membuka makna al-Quran.
D. MUATAN NALAR
Dalam pembahasan terdahulu bahwa banyak faktor kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tafsir bil ma’tsur. Tentu hal ini membuka peluang bagi memberikan nilai diterima atau ditolaknya suatu riwayat. Kevalidan dan realibilitas mufassir dalam proses kerja tersebut tentu tidak terlepas dari pengaruh internal dan eksternal yang dimiliki oleh mufassir. Internal dapat berupa kualitas keilmuan dalam berbagai bidang terutama ilmu Takhrij al­-Hadis, cara berfikir yang ditempuh atau lainnya. Sedangkan eksternal berhubungan dengan lingkungan di mana si mufassir berada, budaya dan lain-­lain. Maka akan memberi peluang bagi mufassir memperbesar muatan nalar dalam penafsirannya. Di samping itu perlu ditekankan bahwa kitab suci Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia (QS Al-Bagarah [2]:2I ). Sebagi petunjuk, pedoman, rahmat, pengobat, tentu tidak hana berlaku periode tertentu saja tetapi untuk sepanjang masa. Sementara itu suruhan untuk berfikir, menelaah dan memahami kandungan Alquran (QS Shad:29) selalu dituntut.
Ditambah lagi perbedaan masa, budaya, tempat dan lingkungan akan mengharuskan mufassir menjelaskan ayat Alquran dengan nuansa baru sekalipun tidak mengurangi substansi tafsir ma’tsur itu sendiri. Berbagai faktor tersebutlah yang memperbesar muatan nalar dalam tafsir bil ma’tsur. Namun sekalipun demikian, muatan nalar dalam tafsir ini lebih sedikit dibandingkan dengan tafsir bi al-ra’yi seperti tafsir maudhu’i. Berkaitan dengan pembahasan pengaruh nalar atau muatan nalar dalam tafsir bil ma’tsur ini, az-Zahabi menyatakan bahwa seorang mufassir yang mengetahui kemampuan seseorang dan dapat menganalisis sebuah sanad serta mengetahui sebab-sebab kelemaham dalam satu riwayat, tafsirnya akan diwarnai oleh cara berfikir dari yang bersangkutan, sehingga dalam menafsirkan ayat Alquran dapat dilakukannya dengan baik, bersih dari kelemahan maupun kesalahan. Sedangkan seseorang yang tidak menguasai sebab-sebab kelemahan periwayatan dan juga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap orang lain dan riwayat-riwayatnya, maka seperti orang dalam kegelapan malam, yang mengumpulkan semua apa yang ditemukannya tanpa membedakan yang salah dari yang benar.[33]
Dari uraian di atas memberi simpulan kepada kita bahwa kualitas keilmuan mufassir, tuntunan Alquran agar manusia selalu berfikir, menelaah serta memahami kandungan Alquran, Alquran harus menjadi petunjuk, pedoman, rahmat dan pengobat sepanjang masa, perbedaan waktu, tempat dan budaya, kelemahan yang terdapat dalam tafsir bil ma’tsur sendiri dan lain-lain. Itu semua akan memberi muatan nalar tang lebih besar dalam proses kerja tafsir bil ma’tsur. Sebagai implikasinya dalam tafsir bil ma’tsur apabila seseorang menafsirkan ayat dengan mengutip hadis Nabi atau ma’tsur sahabat dan tabi’in, maka mufassir tadi paling tidak dapat memberi nuansa dan wawasan baru yang lebih luas dari ma’tsur tersebut sekalipun tidak boleh melewati batas substansi apa yang tertera dalam penafsiran ma’tsur.
E. KARYA-KARYA TAFSIR BIL MA’TSUR
Banyak karya tafsir dengan mamakai metode tafsir bil ma’tsur. Namun yang termashur menurut as-Sabuni ada delapan macam.[34] Sedangkan menurut Manna al-Qattan ada 14 macam.[35] Terlepas dari perbedaan jumlah karya tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara as-Sabuni dan Manna al-Qattan, secara keseluruhan karya-karya itu adalah sebagai berikut:
1.      Muhammad Ibnu Jarir at-Tabary, Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Alquran.
2.      Nasr bin Muhammad as-Samarqandy, Bahr al-’Ulum.
3.      Ahmad bin Ibrahim al-Sa’laby al-Naisabuty, al-Kasy wa al-Bayan.
1.      al-Husain bin Mas’ud al-Baghwy, Ma’alim al-Tanzil.
1.      Abdul Haq bin Galib al-Andalusy, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al­ Kitab al-`Aziz.
2.      Ismail bin Umar al-Damasqy, Tafsir Alquran al-`Adhim.
3.      Abdur Rahman bin Muhammad al-Sa’laby, al-Jawahir fi Tafsir al­Qur’ an.
4.      Jalaluddin as-Suyuti, al-Dur al-Mansur fi al-Tafsir bil Ma’tsur.
5.      Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. 10. Tafsir Ibnu ‘Uyinah.
6.      Tafsir Ibnu Abi Halim.
7.      Tafsir Abi al-Syekh Ibnu Hibban.
8.      Tafsir Ibnu `Atiyah.
9.      Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyf wa al-Bayan `an Tafsir Alquran.
10.  Tafsir Ibnu Abi Syaibah.
11.  16. Tafsir al-Syaukany, Path al -Qadir.[36]
Namun menurut Subh Salih, tafsir yang terbaik yang memakai metode tafsir bil ma’tsur ialah Tafsir Ibnu Jarir at-Tabary. Diantara keistimewaannya ialah dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in selalu disertai dengan isnad dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat. Kecuali itu juga terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-bentuk i’rab yang menambah kejelasan makna. Tapi karena bersandar pada pengetahuan orang lain dalam hal isnad, maka kadang-kadang tanpa disengaja ia melupakan sebagiannya dan mengemukakan sebagian lain yang tidak benar tanpa memberi keterangan. Tafsir lainnya yang agak mendekati tafsir at-Tabary, bahkan dalam beberapa hal mungkin lebih balk, ialah tafsir Ibnu Kasir (Ismail bin Umar al-Damasqy). Diantara keistimewaannya ialah cermat dalam mengetengahkan isnad, susunan kalimatnya sederhana dan menunjukkan pemikiran dengan jelas. Cara Ibnu Kasir ini diikuti oleh as-Sayuty (w. 911 H). la bersandar pada riwayat hadis saheh yang diwarisinya sebagai pusaka, dan itulah yang membuat tafsirnya lebih dekat kepada pemikiran Islam ketimbang uraian-uraian yang berdasarkan
pendapat.[37]

F. RINGKASAN
Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau israiliyat dalam menafsirkan Alquran.
Sekalipun tafsir bil matsur pada hakekatnya adalah tafsir dengan naq muatan nalar tetap ada dan tidak bisa dihindari. Karena dalam proses kerja dengan menggunakan tafsir ini tetap saja tidak terlepas dari kualitas si mufassir, faktor-faktor kelemahan yang ada dalam tafsir bit ma’tsur, perkembangan zaman, perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan budaya dan lain-lain. Itu semua memberi peluang besar pengaruh nalar dalam tafsir bil ma’tsur, atau paling tidak muatan nalar memberi wawasan yang lebih luas dan variasi nuansa sekalipun tidak menggerogoti substansi tafsir bil ma’tsur itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Sejarah Alquran, Cet. III, Sinar Pujangga, Jakarta, 1952.
Ahmad Warson Munawir, Kumus al-Mamawwir, Yogyakarta, 1984.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AI- Qur’an, Jakarta, 1970.
Dzahabi al, Muhammad Husein, al-Tafsir wal Mufarssiruun, Dar al-Kutub al­Haditsah, Kairo, 1978.
Faudah, Muhammad Basuni, al-Tafsir wa Manajihuhu, M. Muchtar Zoerni dan Abd. Qadir Hamir (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1987.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, Mahyuddin dan Anwar Haryono (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1983.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, Dar Alquran al-Azim, Kuwait, 1971.
lqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Religious “Thought in Islam, Javis Igbal & Sir Muhaamad Asraf, Lahore, 1962.
Manna’ al-Qathan, Mahabits fi Uluum Alquran, Huquq al-Taba’ Mahfudzah, Riyad, tt.
Muhammad Ismail Ibrahim, Alquran wa ‘Ijazuhu al-Ummiyin, Dar al-Fikri, Kairo, tt.
Sayuti, Jalaluddin Abdurrahman, al-Dur al-Mansur fi al-’Tafsiir al-Mansur, Dar al-Fikr, Beirut, 1983.
Sayuti, Jalaluddin Abdurrahman, al-ltqan fi Uluum Alquran, Dar al-Fikr, Beirut, Jilid II, 1951.
Shabuni al, Muhammad ‘All, al-Thibyaan fi Uluum  Alquran, Beirut, 1985.
Shabuni al, Muhammad All, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, cet. 2, Dar al­Qur’an al-Karim, Beirut, tt.
Subh al-Shalih, Mabahits fi Ulum Alquran, Dar al-`Ilm lil Malayin, Beirut, 1977.
Syirbasy, Ahmad, Sejarah Alquran, Pustaka Firdaus, (penterjemah), Jakarta, 1985

Komentar

Postingan populer dari blog ini

7 Sunnah Harian Rasulullah SAW yang Wajib Diamalkan

Pengertian Tafsir.Ta'wil beserta Terjemah(TAHLILI.IJMALI dsb lengkap)

Hakikat Kalimat Syahadat