PERNIKAHAN BEDA AGAMA
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pernikahan beda Agama antara muslim dengan non-muslim, apabila non musim bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani, maka para ulama telah sepakat bahwa pernikahan itu haram, baik antara pria muslim dengan wanita non-muslimah, maupun antara pria non-muslim dengan wanita muslimah. Keharaman ini berdasarkan firman Allah berikut ini:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(QS.Al-Baqarah: 221)
Hal ini diperkuat dengan firman Allah yang lain yaitu;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær&
£`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 wur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºs ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÊÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.Al-Mumtahanah: 10).
Demikianlah, dua ayat di atas dengan tegas melarang (mengharamkan) pernikahan muslim dan non-muslim (Musyrik), baik laki-laki muslim dengan wanita non-muslimah, maupun antara laiki-laki non-muslim dengan wanita muslimah.
Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama-Nya, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah dan kedua kepada selain-Nya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-Nya dari sudut pandang ini adalah musryk. Namun demikian pakar-pakar Al-Quran yang kemudian melahirkan pandangan hukum-hukum mempunyai pandangan lain. Menurut mereka kata musrykat digunakan al-Quran untuk kelompok tertentuyang mempesekuukan Allah, mereka adalah para penyambah berhala, yang ketika turunnya al-Quran masih cukup banyak, khususnya yang bertempat tinggal di Mekkah. Dengan demikian , istilah al-Quran berbeda dengan istilah keagamaan di atas.[1]
Kemudian, mengenai perkawinan kaum muslim dan non-muslim (Ahli Kitab), terdapat dua kategori. Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, dan kedua, pernikahan laki-laki Ahli Kitab dan perempuan Muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
A. Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Non Muslim
Para ulama sepakat bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim (Ahli kitab) diperbolehkan dalam syari’at islam. Pendapat ini mengacu pada firman Allah Surat al Maidah ayat 5;
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
Artinya: Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[2] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Sementara itu majlis ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa pada tanggal 1 Juni 1980 tentang haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, maka hal itu karena didasarkan atas pertimabangan kemaslahatan yang sifatnya lokal. Meskipun fatwa tersebut diusung dengan merujuk pada dalil naqli tetap saja tidak bisa menghapus kebolehan menikahi perempuan Ahli Kitab. Sebagaimana disebut dalam surat al-Maidah ayat 5 di atas. Apabila yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab adalah wanita Kristiani atau wanita Yahudi di Indonesia yang menurut Imam Syafi’I tidak dikategorikan sebagai wanita Ahli Kitab.
Fatwa MUI tersebut selengkapnya sebagai berikut;
1. Pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki muslim diharamkam mengawini wanita bukan muslim.
3. Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mampertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram.[3]
Berbeda dengan pendapat Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, ada beberapa ulama yang secara mutlak mengharamkan pernikahan tersebut. Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah pada surat al Baqarah ayat 221, Dan firman-Nya surat al Mumtahanah ayat 10 itu.
Menurut Ibnu Abbas hukum pernikahan dalam surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Mumtahanah ayat 10 di atas dimana laki-laki muslim haram menikahi wanita musyrikah telah dihapus (mansukh) oleh surat al Maidah ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Karenanya yang berlaku adalah hukum diperbolehkannya pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.[4]
B. Pernikahan Pria non Muslim Dengan Wanita Muslimah
Mengenai pernikahan laki-laki Ahli Kitab (non-muslim) dengan wanita muslimah, para ulama pun bersepakat atas keharamannya. Pendapat ini didasarkan atas dalil-dalil berikut:
1. Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 5 dan al-mumtahanah ayat 10.
a. Pendapat para ulama tentang surat al-Maidah ayat 5:
Imam Ibnu Jarir ath-Thobari berkata: “Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan lelaki musyrik mana saja (baik ahli kitab maupun tidak)”. [5]
Imam al-Qurthubi berkata: “Jangan kalian nikahkan wanita muslimah dengan lelaki musyrik. Umat telah bersepakat bahwa orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, karena hal itu merendahkan Islam“.[6]
Al-Baghowi berkata: “Tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan lelaki musyrik merupakan ijma’ (kesepakatan ulama)“. [7]
b. Pendapat ulama tentang surat al-Mumtahanah ayat 10:
Dalam Ayat 10 Surat al Mumtahanah dengan tegas mengharamkan pernikahan laki-laki kafir dengan wanita muslimah, atau sebaliknya. Demikian penjelasan para ulama[8]. Misalnya:
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya tafsir al Quran al ‘Adhim beliau mengatakan:
هذه الاية هي التى حرمت المسلمات على المشركين
Artinya: Ayat inilah yang mengharamkan (pernikahan) perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik[9].
Imam asy-Syaukani juga berkata:
فر لكا تحل لا منة المؤ أن علي ليل د فيه
“ Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal (dinikahi) orang kafir.”[10]
2. Hadits Nabi
Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam kitabnya yang dikenal dengan Tafsir at-Thabari meriwayatkan Hadits dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda:
نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوُّجُوْنَ نِسَائَنَا
“Kami (KaumMuslim) boleh menikah dengan wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (laki-laki Ahli Kitab) tidak boleh nikah dengan wanita kita”. (Lihat Syarh Ushul Min Ilmi Ushul, Ibnu Utsaimin hlm. 527-528).
Masih dari Imam Jarir at-Thabari, riwayat lainnya dari Zaid bin Wahab bahwa Khalifah Umar ra berpesan:
“Seorang Muslim boleh menikahi perempuan Nashrani,tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah”.
Menurut Ibnu Jarir at-Thabari meskipun Sanad hadits tersebut tidak begitu kuat,tetapi maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin, maka otoritasnya sebagai dalil (hujjah) dapat dipertanggungjawabkan. Senada dengan at-Thabari, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/587, yang mengutip pendapat Qatadah dari Ibnu Humaid bahwa Allah telah menghalalkan dua kelompok wanita yang baik dan menjaga kehormatannya, yaitu dari kalangan Mukmin dan Ahli Kitab. Artinya diluar kelompok itu tetap haram, termasuk wanita Muslimah di nikahi oleh laki-laki non Muslim.
3. Ijma’ Sahabat
Di kalangan para sahabat juga tidak ada seorang pun yang membolehkan pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah. Bahkan sampai sekarang selama 15 abad, tidak ada seorang pun ulama yang menghalalkannya. Karenanya hal ini merupakan Ijma’ ( Konsensus) para sahabat dan para ulama sesudah mereka.
4. Kaidah Fiqih
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
الأَصْلُ فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ
Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram.
Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[11]
KESIMPULAN
Para ulama tidak berada dalam kesamaan pendapat mengenai hukum perkawinan beda agama. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang membolehkan dengan syarat, dan adapula yang membolehkan dengan sangat longgar.
Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan beda agama haram secara mutlak, baik untuk laki-laki muslim ataupun untuk perempuan muslim. Baik terhadap ahli kitab ataupun terhadap non ahli kitab. Meskipun nantinya seputar definisi ahli kitab, para ulama juga tidak lagi bersepakat dalam satu pemahaman yang sama.
Kedua, Saya menemukan juga pendapat ulama yang mengatakan bahwa perkawinan beda agama dibolehkan tapi dengan syarat, hanya untuk pria muslim dan hanya kepada perempuan ahli kitab. sementara bagi perempuan muslim tidak dibolehkan menikah beda agama. juga pria muslim tidak boleh menikah dengan perempuan non ahli kitab.
Ketiga, secara mengejutkan, saya juga menemukan pendapat ulama yang menempatkan agama dalam posisi setara sehingga kemudian juga pada akhirnya mereka membolehkan perkawinan beda agama, baik untuk pria muslim maupun untuk perempuan muslim. baik terhadap ahli kitab maupun terhadap non ahli kitab.
Hemat saya, ketiga pendapat itu adalah hasil pemikiran para ulama yang harus dihormati dan dihargai. semuanya merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits, serta menggunakan epistimologi yang sah dalam disiplin hukum Islam dalam hal ini Ushul fikih dan Qawaidul fiqh. Perbedaan yang terjadi sesungguhnya terletak pada persoalan metodologi yang digunakan. Begitupun nantinya pendapat hukum perkawinan beda agama yang kemudian kita pilih, itu hanya salah satu pendapat hukum yang ada diantara sekian banyak hazanah.
Komentar
Posting Komentar